Melawan Golput di Pemilu 2014
Reformasi 1998 menghasilkan sistem
politik demokrasi liberal yang menandakan kepemimpinan otoriter era orde baru
berakhir. Rakyat mendapatkan hak seluas-luasnya khususnya hak untuk bersuara
dan berpendapat yang pada orde baru ditekan. Reformasi juga melahirkan sistem
pemilihan langsung wakil rakyat yang akan duduk di lembaga eksekutif dan
yudikatif. Sistem politik ini bercirikan : ultra-multipartai, sistem pemilu
mengarah ke distrik, dan parlemen yang transaksional (Dault, 2012). Sistem politik ini juga
melahirkan sistem pemerintahan desentralisasi. Daerah diberikan otonomi
sebesar-besarnya untuk mengurus wilayahnya masing-masing dimana saat orde baru
hal ini menjadi otoritas pusat. Pada sistem politik ini pula rakyat tidak lagi
menjadi korban politik kekuasaan. Rakyat merdeka mencalonkan dan dicalonkan
sebagai wakil rakyat dalam pemilu di tingkat pusat maupun daerah. Rakyat dapat
memilih pemimpin yang terbaik tanpa paksaan dan hambatan yang berarti. Dengan
demikian muncul budaya politik baru yang kelangsungannya berada pada kendali
rakyat. Dalam pandangan Almond dan Verba, budaya politik warga negara dapat
menopang terjadinya governmental power
dan governmental responsiveness di
dalam sistem perwakilan (Almond dan Verba, 1963). Governmental power berarti adanya elite di dalam sistem politik
yang memiliki otoritas dari rakyat sehingga memungkinkan mereka bisa membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan
secara absah. Sementara itu, governmental
responsiveness berarti bahwa para elite itu harus accountable sehingga memungkinkan rakyat melakukan evaluasi
terhadap apa yang telah mereka lakukan (Marijan, 2010).
Golput sebagai Ancaman Pemilu 2014
Kebebasan yang didapatkan rakyat di era
demokrasi ini berdampak juga dalam sikap politik. Golput (golongan putih) dalam
berpolitik juga merupakan sikap rakyat. Menurut Komisi Pemilhan Umum (KPU),
golput adalah para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya ditambah dengan
suara yang tidak sah. Tercatat di tiga Pemilu terakhir pasca reformasi 1998, angka
golput mengalami kenaikan. Pada pemilu 1999 mencapai 10.21%, 2004 mencapai
23.34%, dan 2009 mencapai 39.22% (sumber KPU). Golput di Pemilu 2014 bisa jadi
akan mengalami kenaikan. Centre for
Stategic and International Studies (CSIS) menyebutkan tingkat undecided voters atau calon pemilih yang
belum menentukan pilihannya dan golput masih relatif tinggi. Sebanyak 40.5
persen responden belum menentukan pilihan dan 2.7 persen golput.
Banyak sekali alasan yang menjadikan
rakyat golput. Menurut Andrain dan Smith (2006) dan Keele (2007) golput di
sebabkan oleh penurunan trust
(kepercayaan) rakyat terhadap pemerintah karena kinerja perekonomian yang
buruk. When citizens are dissatified with
economics performance, distrust of goverment ensues, but when prosperity
abounds, so will trust (Keele, 2007). Selain karena alasan-alasan politik,
seperti kekecewaan terhadap pemerintah yang melahirkan sikap apatis, golput
juga disebabkan faktor-faktor lain, seperti karena faktor administratif dan
teknis (LSI, 2007). Sikap golput ini menurut Anthony Giddens sebagai ironi
demokrasi (Marijan, 2010).
Melawan Golput
Melihat grafik tingkat partisipasi
rakyat yang menurun di tiga pemilu terakhir pasca reformasi, seharusnya hal
tersebut menjadi evalusi kita bersama sebagai warga negara. Sistem demokrasi
liberal adalah pilihan kita bersama sebagai pengganti dari sistem otoriter
rezim orde baru. Konsekuensinya kendali negara sepenuhnya berada di tangan
rakyat. Rakyat memiliki otoritas lebih untuk menaikkan maupun menurunkan wakil
rakyat yang duduk di pemerintahan. Golput adalah tindakan melawan demokrasi.
Berkembangnya sikap golput dalam berpolitik akan lahirkan ketidakseimbangan
dalam roda pemerintahan. Kontrol rakyat menjadi semakin kecil. Negara menuju
ketidakstabilan. Oleh karenanya, sikap golput dalam pemilu harus kita lawan
bersama.
Selain tidak menjadi golput, kita juga
turut serta menyemarakkan pemilu dengan berbagai kampanye. Merujuk pada The 1995-1997 World Value Survey,
Charles Adrain dan James Smith (2006) mengelompokkan tiga bentuk partisipasi.
Pertama adalah partisipasi yang lebih pasif. Di dalam tipe pertama ini,
partisipasi dilihat dari keterlibatan politik seseorang, yakni sejauh mana
orang itu melihat politik sebagai sesuatu yang penting, memiliki minat terhadap
politik, dan sering berdiskusi mengenai isu-isu politik dengan teman. Kedua
adalah partisipasi yang lebih aktif. Yang menjadi perhatian adalah sejauh mana
orang itu terlibat di dalam organisasi-organisasi atau asosiasi-asosiasi
sukarela (voluntary associations)
seperti kelompok-kelompok olahraga, pecinta lingkungan, organisasi profesi, dan
organisasi buruh. Ketiga adalah partisipasi yang berupa kegiatan-kegiatan
protes seperti ikut menandatangani petisi, melakukan boikot, dan demonstrasi.
0 comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar sesuka Hati Anda Demi Kelancaran Kami Membangun Blog Ini.