Merebut Suara Pemilih Pemula
Siapa yang disebut sebagai Pemilih Pemula? Mereka adalah kaum remaja;
orang yang baru kali pertama menggunakan hak pilihnya; atau warga
Negara Indonesia yang telah genap berusia 17 (tujuh belas) tahun. Ini
mungkin bukan definisi yang lebih tepat, tetapi remaja yang gandrung
pada perkembangan politik juga dapat dimasukkan dalam kategori ini.
Peran pemilih pemula yang jumlahnya sangat signifikan memiliki
karakteristik tersendiri. Perkembangan kepribadian mereka yang dianggap
acuh tak acuh atau apatis pada dunia orang dewasa ini, kian disadari
memiliki ruang yang besar untuk dimanfaatkan banyak kalangan. Tidak
hanya peserta pemilu untuk menjamin meluasnya keterpilihan, tapi juga
bagi penyelenggara pemilu agar angka-angka partisipasi di pemungutan
suara tetap terjaga.
Jumlah pemilih pemula di Pemilu 2014 sekitar 30 persen dari total
jumlah pemilih yang ada. Bila jumlah daftar pemilih tetap sebanyak
189-190 juta. Estimasi angka 30 persen ini disampaikan Ketua KPU, Husni
Kamil Manik pekan lalu di Jakarta. Dengan perkiraan tersebut kita
masing-masing bisa menghitung berapa angka potensi yang bisa diajak
untuk berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Bila merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, jumlah
kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 22.677.490 orang. Kelompok umur 15-19
tahun 20.871.086 orang. Kelompok umur 10 tahun-14 ini pada 2014
separuhnya berusia 17 tahun, dan kelompok umur 15-19 tahun itu pada 2014
semuanya menjadi pemilih, berarti akan ada 32 juta potensi suara
pemilih pemula pada Pemilu 2014.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Ferry Kurnia Rizkiyansyah (Kompas,
25/7/2013) menguraikan data tambahan, pemilih pemula yang berusia 17
sampai 20 tahun sekitar 14 juta orang pada Pemilu 2014. Sedangkan yang
berusia 20 sampai 30 tahun sekitar 45,6 juta jiwa. Angka-angka ini
secara politik amatlah menarik dan potensial.
Bagaimana cara menjangkau pemilih pemula? Paling tidak terdapat dua
pendekatan yang bisa dilakukan yakni, melalui media online dan offline.
Meski mereka kerap disebut sebagai kalangan yang apatis untuk urusan
pemilihan umum, tapi kaum muda merupakan komunitas terdidik, karena
dapat dipastikan sebagian diantara mereka setiap saat dapat menjangkau
akses informasi dan teknologi.
Pemilih pemula pun masuk kategori pemilih terdidik potensial. Jumlah
pemilih pemula yang sangat signifikan itu harus terus-menerus diberi
ruang, dan pendidikan yang lebih baik untuk memilih. Mereka harus
diedukasi agar mampu menempatkan dirinya sebagai subyek, bukan hanya
obyek setiap kali pemilu digelar. Kita berharap kesalahan misalnya
karena tidak terdaftar, atau karena keliru dipencoblosan tidak perlu
terjadi lagi.
Berita di media tentang prediksi akan meningginya jumlah pemilih yang
tidak akan menggunakan hak pilih, harus dihadapi secara bersama. Bahwa
kita menginginkan para wakil rakyat atau pemimpin di masa datang
memiliki legitimasi yang lebih kuat.
Semua pihak mesti terus ikut menggalakkan partisipasi. Di Pemilu
2014, TPS akan menjadi ruang sensitif dan penuh sensasi bagi kaum
pemula. Bagaimana menjaring dan mengajak pemilih pemula ke TPS? Ini
bukan soal tanggung jawab penyelenggara pemilu, tetapi juga urusan
penting bagi peserta pemilu.
Mungkin bisa dipikirkan beberapa cara kreatif yang sesuai karakter
anak muda agar TPS mampu menyedot emosi mereka. Tata letak, gaya dan
ornamen menarik di TPS paling tidak bisa mengundang rasa ingin tahu
untuk beramai-ramai ke bilik-bilik suara. Secara khusus bagi pemilih
pemula, ajang pemilu selalu menjadi momen menentukan.
Jangan lewatkan kesempatan sekali dalam lima tahun itu untuk ikut
menentukan siapa yang pantas menjadi wakil rakyat atau calon pemimpin
bangsa ini. Letakkanlah posisi Anda sebagai pihak penentu. Di sisi
pendidikan politik kaum muda memang obyek, tetapi dibilik suara yang
menentukan itu generasi muda adalah subyek yang tak bisa diwakili. Satu
pemilih pemula sama berarti satu nilai, dan satu suara menentukan.
Bila peserta pemilu (parpol) serius pada pemilih pemuda, sejatinya
mereka akan menjaring anak-anak muda potensial sebagai kader partai yang
terdidik. Tapi yang tampak hanya bagian dari rasa dan citra seolah
peduli kaum muda. Sepertinya hanya urusan mementingkan persoalan
hitung-hitungan suara semata. Tetapi kesempatan untuk memaksimalkan
keseriusan parpol ke pemilih pemula masih cukup panjang. Ini hanya soal
strategi marketing.
Di ranah politik tak mudah menjaring anak muda. Tetapi pencerdasan
politik harus terus digenjot. Hak memilih mereka saat ini mesti didorong
dengan agitasi yang sama bahwa hari ini mereka memilih, besok merekalah
yang akan dipilih. Yang berarti bahwa sejak dini anak muda harus
belajar memahami juga mengadaptasi ilmu, dan pendidikan politik yang
sehat.
Jebakan pragmatisme atau kepentingan sesaat setiap pemilu bagi
potensi muda kerap sulit dihindari. Tapi bagi penulis ini harus dimaknai
sebagai serangan lebih awal pihak lain, untuk memberangus potensi
mereka yang sangat besar. Dunia politik bukanlah milik para orang dewasa
semata, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan generasi muda atau
pemilih pemula.
Jangan pernah menganggap bahwa urusan pemilu hanyalah domain mereka
yang dewasa. Sebab sekali lagi, seorang anak muda memiliki satu peran
yang sama; satu nilai; dan satu suara yang menentukan arah dan tujuan
bangsa ini. Yakinlah bahwa keterlibatan pemilih pemula di pemilu secara
sehat akan mempunyai efek politik (politicical efficacy).
Partisipasi masyarakat dalam proses politik, melalui pemberian suara
selalu dibarengi keyakinan bahwa agenda bersama itu akan menjadi
penyalur aspirasi dan kepentingan jangka panjang. Kita, memang tidak
mungkin mampu melepaskan diri atau menghindari pengaruh orang lain dalam
menentukan pilihan. Sebab itulah yang berlaku dalam konsep partisipasi
politik. Tapi itu dilakukan setelah mempelajari rekam jejak calon,
mencatat janji-janji mereka, dan terus menilai mereka bila terpilih
kelak.
Sebagai bandingan terdapat tiga alasan pemilih pemula dalam sebuah
survei terakhir tahun 2012, yang menyatakan tidak akan menggunakan hak
pilih: karena figur ketua umum partai; program yang ditawarkan parpol
tidak prorakyat; dan parpol tidak bersih dari korupsi.
Bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu tugas pentingnya menggiatkan sosialisasi agar partisipasi pemilih terus meningkat. Lalu bagaimana
dengan partai politik, apakah sudah merancang strategi untuk merebut
jumlah pemilih pemula yang signifikan itu? Tak cukup hanya menjangkau,
tetapi juga meyakinkan, dan membuat mereka penasaran.
0 comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar sesuka Hati Anda Demi Kelancaran Kami Membangun Blog Ini.