Tentang Trust pada Penyelenggara Pemilu
Seberapa urgen trust atau kepercayaan bagi kehidupan demokrasi? 
Sangat penting, sebab tak mungkin menegakkan esensi dan substansinya 
tanpa masyarakat yang memercayai orang per orang, organisasi politik, 
media publik dan juga para penyelenggara pemilihan umum.
Di tengah menurunnya kepercayaan publik pada partai politik dan 
kualitas praktek demokrasi yang rendah, diperlukan penguatan aspirasi 
rakyat dan menihilkan perilaku menyimpang dalam berpolitik. Hal inilah 
yang hendak penulis tekankan, juga sekaligus ingin mengikat posisi 
penulis sebagai salah satu komisioner penyelenggara pemilihan umum di 
daerah ini.
Dari pemilu ke pemilu, harapan rakyat terhadap para pemangku 
pemilihan umum yang jujur dan bersih terus meningkat. Mungkin agak 
klise, tapi derajat kepercayaan publik dan peserta pemilu akan menjadi 
alat bantu yang sangat efektif untuk mendorong partisipasi pemilih, dan 
penerimaan hasil-hasil pemilu secara terhormat.
Bila menyembul setitik saja distrust atau ketidakpercayaan masyarakat
 kepada penyelenggara pemilu, dari  sisi inilah celah untuk menggoyang 
dan meruntuhkan kualitas demokrasi sebenarnya dimulai. Tapi tak perlu 
kuatir, karena setiap orang jelas diajarkan oleh orangtua, kearifan 
lokal, dan budayanya sejak kecil tentang nilai kejujuran dan moralitas.
Sejumlah pengamat menyebutkan, rusuh pascapemilukada atau pemilu 
sesungguhnya bukan semata-mata memalungnya selisih angka dalam deret 
hitung yang memenangkan seseorang, atau tidak siapnya seseorang atau 
kelompok tertentu menerima deklarasi Siap Kalah, atau Siap Menang. Tapi 
akibat menggumpalnya ketidakpercayaan, karena menilai dan mendapati 
penyelenggara pemilu yang tidak netral, tidak terbuka dan dependen pada 
kepentingan tertentu.
Trust menyangkut nilai dan keberterimaan semua pihak pada seluruh 
aspek tahapan pemilu, penyelenggara, dan hasil-hasil kontestasi yang 
kerap tidak memuaskan kubu yang kalah. Menurut Usman Husaini (2010:481) 
kepercayaan ialah harapan positif. Disebutkan, ada lima dimensi dalam 
 membangun kepercayaan, yaitu integritas (integrity), kompetensi 
(competence), konsistensi (concistency), kesetian (loyalty) dan 
keterbukaan (openness).
Integritas adalah sifat jujur dan bermoral.  Dalam aspek kearifan 
lokal, telah ada almarhum Prof Dr Baharuddin Lopa, Sang Pendekar Hukum 
di Republik ini, yang memberi contoh tentang kejujuran dan ketinggian 
moralnya. Standar yang mungkin memang terasa sulit dijangkau dan 
dipraktekkan orang-orang sesudahnya, tetapi paling tidak ada patron 
ideal yang bisa menjelma dalam kehidupan kita sehari-hari.
Jika bentuk komunikasi itu mampu diterapkan secara efektif, ini modal
 awal pertama bagi penyelenggara pemilu. Kejujuran dalam komunikasi 
tidak akan pernah membuat distorsi. Itulah sebabnya dari dunia 
pendidikan kita sesungguhnya tidak hanya berharap melubernya tamatan 
yang hanya pintar atau cerdas, tetapi juga harus jujur sarat moral.
Kata Weber, kompetensi dalam teori birokrasi menyangkut kualifikasi. 
Ini dimaksudkan kepada seluruh elemen penyelenggara pemilu agar memiliki
 sifat, pengetahuan, dan kemampuan pribadi yang relevan dalam 
menjalankan tugasnya secara efektif.
Kompetensi juga meliputi semua aspek penampilan kinerja, kerja sama 
dengan orang lain, keterampilan individual, kemampuan mengelola 
tugas-tugas yang berbeda dalam tugas, atau mampu merespon 
ketidakteraturan dan mengatasinya, serta menautkan tanggung jawab dan 
harapan yang dikehendaki masyarakat. Conny R Semiawan mendefinisikan 
sebagai kemampuan (ability), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) 
yang benar dan tuntas dalam menjalankan perannya secara efisien.
Dimesi ketiga, konsistensi yang merupakan sifat kokoh dan teguh 
(persistent) pada pendirian, meskipun berbagai ancaman menghadangnya. 
Dapat dibayangkan bila ramalan kita pada penyelenggara pemilu yang 
tingkah lakunya, sikap dan pikirannya yang mudah berubah-ubah. Atau 
ucapan dan janjinya yang tidak dapat dipercaya. Ketidakkonsistenan 
antara ucapan dan perbuatan akan menghapus semua pencapaian 
penyelenggara pemilu, yang telah dilakukannya dengan susah payah dan 
melelahkan dalam pola mekanisasi.
Kesetian yang dimaksud ditulisan ini tentu saja mengacu pada 
keinginan untuk selalu melindungi, menyelematkan dan mematuhi atau taat 
pada regulasi dan produk perundang-undangan terkait sistem kepemiluan 
dengan penuh pengabdian. Sistem pemilu yang terus berkembang dari dekade
 ke dekade di Indonesia, makin menuntut para penyelenggara pemilu untuk 
taat hukum dan menjaga batas etika yang irisannya demikian tipis.
Dalam pembekalan Komisioner KPU Provinsi se-Indonesia Gelombang I 
tahun 2013 akhir Mei lalu di Jakarta, Ketua Dewan Kehormatan 
Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Jimly Assidiq menegaskan, independensi 
sebagai bagian penting dari standar etika para penyelenggara pemilu 
harus ditegakkan. Ini bentuk kesetian dalam wujud pengabdian mulia pada 
NKRI. Bila dilanggar, tak ada kata toleransi dan ampun bagi DKPP.
Lalu yang terakhir, tentang asas keterbukaan. Di Komisi Pemilihan 
Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Barat, komitmen ini akan dijaga. 
Keterbukaan penyelenggara pemilu dalam semua unit produk kebijakan yang 
terikat dengan semua stakeholder, akan mengurangi bahkan menghilangkan 
rasa saling curiga antara peserta dan penyelenggara pemilu.
Keterbukaan awal dari kejujuran, dan itu letaknya di sukma. Apa yang 
membuat seseorang atau organisasi dipercaya publik, hanya kejujuran dan 
komitmen bagian dari hal itu. Cara untuk mewujudkannya dengan jalan 
mendayagunakan berbagai jalur komunikasi, dan menyiapkan kebijakan yang 
jelas tentang cara warga mendapatkan informasi. Pengembangan keterbukaan
 sangat penting untuk mendesain keyakinan dan kepercayaan publik pada 
lembaga negara; KPU.
KPU merupakan lembaga layanan publik dalam bidang politik dan 
kesertaan berpemilu. Komisioner di KPU diberi mandat oleh masyarakat 
sehingga keterbukaan menjadi niscaya milik publik. Keterbukaan sangat 
diperlukan untuk membangun keyakinan dan kepercayaan stakeholder 
terhadap penyelenggara pemilu, dan apa yang menjadi prestasinya.
Secara internal, meski catatan ini dibaca secara terbuka oleh publik,
 sejatinya para komisioner penyelenggara pemilu khususnya di KPU. Terus 
membangun budaya trust, jangan sampai silap mata. Kita terus berharap 
masyarakat sipil tetap percaya, agar defisit nilai demokrasi kembali 
menuai ekspektasi rakyat pada Pemilu 2014. Sebab kita hanya memiliki 
aktiva dan harkat di mata publik, tentang kepercayaan dan kejujuran. 
 

 
 

0 comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar sesuka Hati Anda Demi Kelancaran Kami Membangun Blog Ini.